Selasa, 19 Juni 2018


BAB 12
PENYELESAIAN SENGKETA



12.1     Pendahuluan

Pihak yang merasa dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, apabila pihak kedua dapat menanggapi dan memberi perasaan puas kepada pihak pertama maka selesailah konflik tersebut, sebaliknya jika reaksi pihak kedua menunjukkan perbedaan pendapat atau memiliki nilai-nilai yang berbeda maka akan terjadi perselisihan, sehingga dinamakan sengketa.
Penyelesaian sengketa secara formal berkembang menjadi proses adjudikasi yang terdiri atas proses melalui pengadilan (litigasi) dan abitrase (perwasitan), serta proses penyelesaian-penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa melalui negosiasi dan mediasi.

12.2     Cara – Cara Penyelesaian Sengketa

Di dalam penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain negosiasi (negotiation), melalui pihak ketiga, mediasi, konsiliasi, abitrase, peradilan, dan peradilan umum.

1.    Negosiasi (Negotiation)
Negosiasi adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berperkara.

Dalam hal ini, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yangsama maupun yang berbeda.

2.      Mediasi
Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa mediasi merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Sementara itu, pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur, antara lain :
  • Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan
  • Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan
  • Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian
  • Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak- pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.

Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat.
Jika dengan cara mediasi tidak menghasilkan suatu putusan diantara para pihak maka masing-masing pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti melalui pengadilan , abitrase atau lain-lain.

3.      Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Dalam menyelesaikan perselisihan , konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa.
Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesempatan di antara mereka.

4.      Arbitrase
Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam penyelesaian sengketa melalui lembaga abitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya, prosedur sederhana, purusan abitrase mengikat para pihak, dan disebabkan putusan yang diberikan bersifat final.
Arbitrase adalah sebagai upaya hukum dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Arbitrase terbagi 2 jenis, yaitu :
·           Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunteer
Merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu.
·           Arbitrase institusional
Merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat “permanen”, sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar , meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus. Sementara itu, di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase , yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).

Keputusan arbitrase bersifat final, berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dan karenanya tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau perjanjian kembali. Berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, jika telah memenuhi persyaratan seperti berikut :
  • Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase disuatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
  • Putusan arbitrase internasional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
  • Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
  • Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dengan demikian, suatu keputusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur seperti berikut 
  • Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diketahui palsu atau dinyatakan palsu.
  • Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan dan yang disembunyikan oleh pihak lawan.
  • Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. 
5.      Peradilan
Pengadilan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkunagan peradilan agama, lingkungan peradilan militer ,lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.

6.      Peradilan Umum
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang dimaksud dengan peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Dengan demikian, kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
·           Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri adalah pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kota madya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten, yang dibentuk dengan keputusan presiden.
·           Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
·           Mahkamah Agung
Ketentuan mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang No.14 tahun 1985, merupakan pengadilan Negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain yang berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.

Perbandingan antara Perundingan , Arbitrase, dan Litigasi

Proses
Perundingan
Arbitrase
Litigasi
Yang mengatur
Para pihak
Arbiter
Hakim
Prosedur

Informal
Agak Formal sesuai dengan rule
Sangat formal dan teknis

Jangka waktu
Segera
(3-6 minggu)
Agak cepat
( 3-6 bulan )
Lama
( 2 tahun lebih )
Biaya
Murah

Terkadang sangat mahal
Sangat mahal
( expensive)
Aturan pembuktian
Tidak perlu

Agak informal

Sangat formal dan teknis
Publikasi

Konfidensial

Konfidensial

Terbuka untuk umum
Hubungan para pihak
Kooperatif

Antagonistis

Antagonistis

Focus penyelesaian
For the future

Masa lalu
( the past )
Masa lalu
( the past )
Metode negoisasi

Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi

Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu
( blocked)
Jalan buntu
( blocked)
Result
Win – win
Win – lose
Win – lose
Pemenuhan



Sukarela

Selalu di tolak dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
Suasana emosional
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak





sumber :

Senin, 18 Juni 2018

BAB 11
KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN 
PEMBAYARAN UTANG



11.1 Pendahuluan

Undang – undang tentang kepailitan dan penundaan kewajiban ini didasarkan pada asas-asas, antara lain :

  • Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan adalah di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitor yang tidak jujur.

  • Asas Kelangsungan Usaha

Asas kelangsungan usaha adalah terdapat ketentuan yang memungkinkanperusahaan debitor yang propestif tetap dilangsungkan.

  • Asas Keadilan

Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang – wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tiap-tiap tagihan terdapat debitor dengan tidak memperdulikan debitor lainnya.

  • Asas Integrasi

Asas integrasi adalah sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakansatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Dengan demikian, Undang-undang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang merupakan perlindungan bagi kepentingan para kreditor umum/konkuren yang pelunasannya didasarkan pada ketentuan dalam Pasal 1131Yo Pasal 1132 KUH Perdata, terdapat kelemahan dalam pelunasan piutang.

11.2 Pengertian Pailit

Pengertian pailit atau bankrut menurut Black’s Law Distionary adalah seorang pedagang yang bersembunyi atau melakukan tindakan tertentu yang cenderung mengelabui pihak kreditornya.
Sementara itu , dalam Pasal 1 butir 1, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Dalam Pasal 1 butir 7 yang dimaksud dengan utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

11.3 Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Kepailitan

Adapun syarat-syarat yang dapat mengajukan permohonan kepailitan berdasarkan Pasal 12 adalah sebagai berikut:
1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
2. Kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit dengan alasan untuk kepentingan umum. 
        Adapun alasan-alasannya antara lain :

  • Debitor melarikan diri
  • Debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan
  • Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat
  • Debitor mempunyai utang yang berasal dari perhimpunan dana masyarakat luas
  • Debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu
  • Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum

3. Debitor adalah bank umum permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia
4. Debitor adalah perusahaan efek , lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan hanya dapat diajukan oleh BPPM
5. Debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik maka permohonan pernyataan pailit sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan.

Apabila debitor merupakan badan hukum , tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya. Jadi pengadilan yang berwenang adalah pengadilan niaga dalam lingkungan peradilan umum. Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan diajukan suatu upaya hukum.
Apabila kreditor atau debitor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator ke pengadilan maka BHP bertindak selaku kurator yang bukan BHP maka kurator tersebut haruslah independen dan tidak mempunyai benturan kepentingan dengan pihak kreditor atau debitor.

11.4 Keputusan Pailit dan Akibat Hukumnya

Apabila debitor adalah perseroan terbatas, organ perseroan tersebut tetap berfungsi dengan ketentuan jika dalam pelaksanaan fungsi tersebut menyebabkan berkurangnya harta pailit maka pengeluaran uang yang merupakan bagian harta pailit adalah wewenang kurator.
Namun ketentuan sebagaimana Pasal 21 diatas tidak berlaku terhadap barang-barang sebagai berikut :

  • Benda, termasuk hewan yang benar – benar dibutuhkan oleh debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur, dan perlengkapan yang digunakan oleh debitor dan keluarganya.
  • Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaanya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa sebagai upah, pensiun, uang tunggu, atau uang tunjangan yang ditentukan oleh hakim pengawas.
  • Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang.

Dengan demikian , putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak saat itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitor.

11.5 Pihak – Pihak Yang Terkait dalam Pengurusan Harta Pailit

Dalam penguasaaan dan pengurusan harta pailit yang terlibat tidak hanya kurator, tetapi masih terdapat pihak-pihak lain yang telibat adalah sebagai berikut :

  • Hakim pengawas bertugas untuk mengawasi pengurusan dan pemberesanharta pailit.
  • Kurator bertugas melakukan pegurusan dan atau pemberesan harta pailit.
  • Panitia Kreditor dalam putusan pailit atau dengan penetapan , kemudian pengadilan dapat membentuk panitia kreditor, terdiri atas tiga orang yang dipilih dari kreditor yang telah mendaftarkan diri untuk diverifikasi , dengan maksud memberikan nasihat kepada kurator.

11.6 Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Penundaan kewajiban pembayaran utang diberikan kepada debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada debitor.
Dalam hal debitor adalah bank, perusahaan efek, bunga efek, lembaga kliring dan penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang adalah lembaga sebagaimana dimaksud diatas.
Dalam Pasal 244 tidak berlaku penundaan kewajiban pembayaran utang, antara lain :
  1. Tagihan yang dijamin dengan gadai , jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya.
  2. Tagihan biaya pemeliharaan, pengawasan, atau pendidikan yang sudah harus dibayar dan hakim pengawas harus menentukan jumlah tagihan yang sudah ada dan belum dibayar sebelum penundaan kewajiban pembayaran utang yang bukan merupakan tagihan dengan hak untuk diistimewakan.
  3. Tagihan yang diistimewakan terhadap benda tertentu milik debitor maupun terhadap seluruh harta debitor yang tidak tercakup diatas.

11.7 Pencocokan (Verifikasi) Piutang

Pencocokan piutang merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam proses kepailitan, karena dengan pencocokan piutang inilah nantinya ditentukan perimbangan dan urutan hak dari masing-masing kreditor, yang dilakukan paling lambat 14 hari sejak putusan pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap.
Suatu piutang yang telah diakui dalam rapat mempunyai kekuatan mutlak dalam kepailitan, sedangkan dalam piutang yang dibantah/tidak diakui, sementara hakim pengawas tidak dapat mendamaikannnya maka hakim pengawas akan menunjuk para pihak untuk menyelesaikannya dalam suatu sidang pengadilan yang ditentukan olehnya.
Dengan demikian, debitur wajib hadir sendiri dalam rapat pencocokan piutang agar dalam memberikan keterangan yang diminta oleh hakim pengawas mengenai sebab kepailitan dan keadaan harta pailit.

11.8 Perdamaian ( Accord )

Debitur pailit berhak untuk menawarkan rencana perdamaian (accord) kepada para krediturnya. Namun, apabila debitur pailit mengajukan rencana perdamaian, batas waktunya paling lambat delapan hari sebelum rapat pencocokan rapat piutang menyediakannya di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap orang yang berkepentingan.
Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitur lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.
Debitur wajib membuktikan bahwa perdamaian telah dipenuhi.apabila tidak dapat dibuktikan maka dalam putusan pembatalan perdamaian diperintahkan supaya kepailitan dibuka kembali.
Dalam hal kepailitan dibuka kembali, harta pailit dibagi diantara para kreditur (insolvensi) dengan cara:
  • Jika kreditur lama maupun kreditur baru belum mendapat pembayaran, hasil penguangan harta pailit dibagi diantara mereka secara pukul rata adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing.
  • Jika telah dilakukan pembayaran sebagian kepada kreditur lama, kreditur lama dan kreditur baru berhak menerima pembayaran sesuai dengan presentase yang telah disepakati dalam perdamaian.
  • Kreditur lama dan kreditur baru berhak memperoleh pembayaran secara pukul rata atas sisa harta pailit setelah dikurangi pembayaran sebagai mana dimaksud pada huruf b sampai dipenuhinya seluruh piutang yang diakui.
  • Kreditur lama yang telah memperoleh pembayaran tidak diwajibkan untuk mengembalikan pembayaran yang telah diterimanya.

11.9 Permohonan Peninjauan Kembali

Terhadap keputusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, permohonan peninjauan kembali dapat diajukan apabila :
  1. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada, tetapi belum ditemukan.
  2. Dalam putusan hakim yang bersangkutan terdapat kekeliruan yang nyata.



sumber:


BAB 10
Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat



10.1 Pengertian

  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli, yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha. Yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang-perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.

10.2 Asas dan Tujuan

Dalam melakukan usaha di Indonesia, pelaku usaha harus berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan umum dan pelaku usaha. Sementara itu tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah sbb:
  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, menengah, dan kecil.
  3. Mencegah praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4. Menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
10.3 Kegiatan yang Dilarang

1. Monopoli

Adalah penguasaan atas produksi dan pemasaran barang atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Undang-undang no.5 tahun 1999 merumuskan beberapa kriteria sebagai berikut :
  • Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
  • Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana maksud dalam ayat (a) apabila: barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada subtitusinya;
  • Mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk dalam persaingan dan atau jasa yang sama; atau,
  • Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50 % (lima puluh persen) pasangsa pasar atau jenis barang atau jasa tertentu.
2. Monopsoni

Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak. Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur tentang larangan praktik monopsoni, yaitu sebagai berikut.;
  • Pelaku usaha dilarang melakukan menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
  • Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (a) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
3. Penguasaan pasar

Di dalam UU no.5 tahun1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
  • Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
  • Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
  • Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
  • Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
4. Persengkongkolan

Persekongkolan berarti berkomplot atau bersepakat melakukan kecurangan. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang dilarang oleh UU Nomor 5 Th. 1999 dalam Pasal 22 sampai Pasal 24, yaitu sbb:
  • Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
  • Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapat informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia perusahaan.
  • Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengahambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun kecepatan waktu yang disyaratkan.
5. Posisi Dominan

Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
Persentase penguasaan pasar oleh pelaku usaha sehingga dapat dikatakan menggunakan posisi dominan sebagaimana ketentuan di atas adalah sbb:
  • Satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
  • Dua atau tiga pelaku usaha satau satu kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa.
6. Jabatan rangkap

Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seseorang yang menduduki jabatan direksi atau komisaris suatu perusahaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris perusahaan lain pada waktu yang bersamaan apabila:
  • Berada dalam pasar bersangkutan yang sama.
  • Memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha.
  • Secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu yang dapat menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
7. Pemilikan saham

Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama bila kepemilikan tersebut mengakibatkan persentase penguasaan pasar yang dapat dikatakan menggunakan posisi dominan (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 27).

8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan

Dalam menjalankan perusahaan, pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum, yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus-menerus dengan tujuan mencari laba, secara tegas dilarang melakukan tindakan penggabungan , peleburan, dan pengambilalihan yang berakibat praktik monopoli dan persaingan tidak sehat (UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 28). Hanya penggabungan yang bersifat vertikal yang dapat dilakukan sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 14.

10.4 Perjanjian yang Dilarang

Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5 Tahun 1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebagai berikut :

1. Oligopoli

Oligopoli merupakan keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang berjumlah sedikit sehingga dapat mempengaruhi pasar, maka:
  • Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha dengan secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.
  • Pelaku usaha patut diduga melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa bila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
2. Penetapan harga

Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
  • Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
  • Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama.
  • Perjanjian dengan pelaku usaha pesaing untuk menetapkan harga di bawah harga pasar.
  • Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah dari harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian wilayah

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

4. Pemboikotan

Pelaku usaha dilarang melakukan perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri.

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut berakibat:
  • Merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain,
  • Membatasi pelaku usaha lain dalam menjaul atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan.
5. Kartel

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang atau jasa.

6. Trust

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap perusahaan atau peseroan anggotanya yang bertujuan mengontrol produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa.

7. Oligopsoni

Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang atau jasa dalam suatu pasar komoditas, diantaranya:.
  • Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai pembelian atau penerimaan pasokan secara bersama-sama agar dapat mengendalikan harga barang atau jasa dalam pasar yang bersangkutan.
  • Pelaku usaha dapat diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai >75% pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
8. Integrasi vertikal

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

9. Perjanjian tertutup

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak dan atau tempat tertentu.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa yang membuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok, antara lain:
  • Harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok
  • Tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

10.5 Hal-hal yang Dikecualikan dari Undang-Undang Anti Monopoli

Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999 terdapat hal-hal yang dikecualikan, yaitu :

1. Pasal 50

Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku :
  • Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba;
  • Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan;
  • Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan;
  • Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;
  • Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia;
  • Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri;
  • Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil;
  • Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
2. Pasal 51

Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

10.6 Komisi Pengawasan Persaingan Usaha

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
KPPU menjalankan tugas untuk mengawasi tiga hal pada UU tersebut:
Perjanjian yang dilarang, yaitu melakukan perjanjian dengan pihak lain untuk secara bersama-sama mengontrol produksi dan pemasaran barang atau jasa yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat seperti perjanjian penetapan harga, diskriminasi harga, boikot, perjanjian tertutup, oligopoli, predatory pricing, pembagian wilayah, kartel, trust (persekutuan), dan perjanjian dengan pihak luar negeri yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Kegiatan yang dilarang, yaitu melakukan kontrol produksi dan pemasaran melalui pengaturan pasokan, pengaturan pasar yang dapat menyebabkan praktek monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.
Posisi dominan, pelaku usaha yang menyalahgunakan posisi dominan yang dimilikinya untuk membatasi pasar, menghalangi hak-hak konsumen, atau menghambat bisnis pelaku usaha lain.
Dalam pembuktian, KPPU menggunakan unsur pembuktian perseillegal, yaitu sekedar membuktikan ada tidaknya perbuatan, dan pembuktian rule of reason, yang selain mempertanyakan eksistensi perbuatan juga melihat dampak yang ditimbulkan.

Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
  • Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker.
  • Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan.
  • Efisiensi alokasi sumber daya alam.
  • Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli.
  • Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya.
  • Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi.
  • Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak.
  • Menciptakan inovasi dalam perusahaan.
10.7 Sanksi dalam Monopoli dan Persaingan Usaha

Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.

1. Pasal 48

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana penjara pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

2. Pasal 49

Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
  • Pencabutan izin usaha; atau
  • Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
  • Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Antimonopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.




sumber :